PROFILE SISWA
Lina adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai penjual poster keliling, dan ibunya buruh cuci di perumahan. Sebelum bergabung dengan 16 siswa yang lain di kelas III SD Juara Semarang Lina pernah sekolah sampai kelas 4 tingkat SD. Keadaan ekonomi keluarganya memaksa lina untuk berhenti sekolah. Tiga tahun ia putus sekolah.
Orang tua Lina sebenarnya punya latar belakang yang cukup baik dalam hal ekonomi, keluarga mereka termasuk berada. Karena terlilit utang untuk usaha membuat mereka bangkrut sampai harus menjual tanah dan rumah warisan. Sekarang mereka tinggal di gubug yang itupun harus ngontrak. Kondisi ekonomi inilah yang memaksa lina putus sekolah.
Harusnya Lina sudah kelas 3 SMP kalo sekolahnya lancar. Ketika Rumah Zakat membuat sekolah gratis sampailah informasi ke telinga orang tuanya. Merekapun tertarik untuk ikut. Semula hanya berniat mendaftarkan anak ke-3nya, Agung (kini duduk di kelas I) saja. Oleh kepala SD Juara disarankan untuk sekalian memasukkan anaknya yang lain yang putus sekolah. Dan ternyata ada dua anaknya yang putus sekolah; Ilham (kelas II), dan Lina (Kelas III). Maka jadilah Lina mendaftar masuk di kelas III, karena SD Juara baru buka sampai kelas III.
Dalam waktu putus sekolah Lina membantu ibunya mencukupi nafkah keluarga dengan jualan jajan dan mainan di sekolah dekat kontrakannya atau di pusat-pusat keramaian. Suatu ketika menurut cerita Lina, ibunya pernah masuk TV gara-gara merespon permintaan minta tolong seseorang yang ternyata adalah rekaan program realty show di sebuah TV Swasta Toloong. Waktu itu ibunya ditawari untuk membeli rambutan padahal uang ibunya pas untuk beli bahan makanan. Tapi ibunya memilih membeli rambutan tersebut sehingga berhak mendapat hadiah dari program toloong. Walaupun ibunya dalam kondisi kekurangan tapi selalu menasehati untuk suka menolong dan mementingkan orang lain. Dan memang dari ketiga putra putrinya (Agung, Ilham, dan Lina) walaupun dari keluarga yang kurang tapi sopan dan ramah serta gemar membantu.
Kini, di sekolahpun Lina jualan. Awalnya barang yang dijual didapat dari kulakan. Tapi karena masuan dari pihak sekolah untuk menjaga higeienisnya makanan yang dijual akhirnya menjual barang buatan sendiri. Lina menuturkan barang yang dijual dibuat sejak pukul 11 malam hingga subuh. Biasanya, sepulang sekolah setelah isya langsung tidur sampai pukul 10an. Pukul 11 sudah mulai membuat jajan yang akan dijual. Jajan yang dibuat diantaranya; gorengan (pisang goreng, mendoan, bakwan), es teh/es susu, siomay mini, dan macaroni. Lina dan adik-adiknya semua terlibat dalam proses pembuatan barang dagangan.
Setiap pagi mereka berlima (ibu dan 4 anak) berangkat menuju sekolah dengan sepeda onthelnya sejauh 7 km-an. Walaupun jauh mereka tidak pernah terlambat. Hanya saja beberapa kali harus ijin karena sakit, mungkin karena kecapekan.
Ketika di konfirmasi pak Jek, untuk menyiapkan dagangan butuh dana 10 hingga 20 ribu dan berhasil mendapat uang minimal 20 hingga 50 ribu. Jadi minimal setiap harinya Lina mendapat hasil keuntungan dari jualan di sekolah sebanyak 10 hingga 30 ribu rupiah.
Keberadaan Lina yang berjualan di sekolah membuat teman-teman siswa yang lain senang karena tidak perlu jauh-jauh atau keluar dari sekolah untuk jajan. Seperti kata Nusaibah dan Farah (kelas III) hampir bersamaan ketika ditanya bagaimana pendapatnya tentang Lina yang jualan di sekolah, mereka serempak mengatakan senang sekali karena tidak perlu kemana-mana kalau jajan. 53 siswa adalah potensi pasar yang besar. Seandainya tiap anak bawa saku 1,5 ribu maka setidaknya ada potensi belanja 75 rb-an. Dan ini dipahami betul oleh Lina dan ibunya. Disamping memang kepepetnya kondisi yang masih harus cari tambahan sana sini. Lina pun mengakui bahwa ia berjualan untuk membantu orang tuanya.
Ketika ditanya apa cita-cita kedepannya Lina mangaku ingin menjadi Polisi Wanita (Polwan). Kenapa tidak ingin jadi pengusaha saja” sergah pak Jek. Lina pun hanya diam. Dalam hati pak Jek teriris mendengar pilihan cita-cita Lina. Karena Lina merupakan salah satu dari dua siswa SD Juara Semarang yang mengalami gangguan wicara. Bicaranya tidak jelas karena ada kekurangan di organ lidahnya. Juga jadi paham jika mereka selama ini berjualan memang murni karena kepepet bukan karena keinginan untuk menjadi pengusaha. Jadi ada PR untuk memahamkan mereka sekalian agar bercita-cita menjadi pengusaha. Memang sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya kurang memiliki mentalitas pengusaha. Rata-rata mereka bermental karyawan seperti halnya Lina.
Apa yang dilakukan Lina tidak hanya mulus-mulus saja. Dalam setiap usaha pasti juga ada hambatan-hambatan yang menerpa. Tak terkecuali Lina. Beberapa waktu lalu Lina sempat berhenti berjualan karena ada berita miring yang bernada larangan ia berjualan, tepatnya ketika Lina memakai teras masjid untuk berjualan. Ironisnya berita miring tadi mengatasnamakan pihak sekolah, padahal tidak ada sedikitpun niatan sekolah melarang. Bahkan mendorong. Salah satunya dengan program bisnis day walau baru berjalan sebulan sekali. Akhirnya Lina pindah tempat didepan kelasnya ketika berjualan. Dan teman-teman nya jadi tambah senang karena lebih dekat lagi. Dan pihak sekolahpun tidak mempermaslahkannya bahkan mendukung. Karena Lina pun sangat paham waktu, ia menggelar dagangannya hanya diwaktu diluar jam efektif; sebelum masuk, atau diwaktu istirahat.
*catt: Alhamdulillah, tulisan ini memenangkan lomba karya tulis kisah pemberdayaan yang diselenggarakan oleh Yayasan Rumah Juara Indonesia.
1 Komentar
Subhanallah, luar biasa semangatnya.
BalasHapusLuar biasa juga apa yang dilakukan SD Juara.
Tapi saya baru tahu, yang dimaksud Pak Jek itu ternyata pak Joko. Hmmm...nama baru pak?